(Ditulis sebagai tanggapan http://kramput.blogspot.com/2007/08/kepada-ibu-ivonne.html . )
Rekan-Rekan yth.,
Kalimat di atas bukanlah kalimat bersayap atau mengada-ada; tapi itu adalah kalimat yang menunjukkan perasaan saya sesungguhnya hari ini. Rasanya jarang kita dapat merasakan hal serupa di negeri sendiri.
Hari ini saya dihukum oleh Ibu Misaki-Sensei, karena mendapatkan Quiz I pada kelas bahasa Jepang dengan angka dibawah 10 pada skala 100. Yang bernasib serupa dengan saya adalah Rahman, teman seangkatan saya yang berasal dari India. Maklum, kami masuk ke Universitas Keio melalui program IGP (International Graduate Program), yang tidak terlalu mensyaratkan bahasa Jepang. Selain itu, ada beberapa hal yang harus kami urus di beberapa hari ini.
Kembali ke topik: hari ini saya bahagia banget dihukum Misaki-Sensei.
Misaki-Sensei mengatakan bahwa setelah kelas selesai, dua anak yang mendapatkan nilai terendah harus tetap di kelas. Karena beliau guru yang kawakan, yaitu sangat berpengalaman mendidik dalam arti sesungguhnya, maka hukuman tersebut dapat kami terima dengan senang hati. Tidak ada suasana stres dan menegangkan di dalam kelas; semuanya berlangsung relax. Banyak ketawanya.
Hukuman pun dibuat dengan sangat cerdas oleh Misaki-Sensei; tujuan dari hukuman perlu disadari adalah hanyalah salah satu bagian kecil dari tujuan global pendidikan itu sendiri, yaitu agar murid mengerti dengan baik mata pelajaran yang diajarkan. Sehingga hukuman dibuat tidak untuk melampiaskan nafsu guru yang membuat murid menjadi frustasi; sebagaimana sering kita temui di dalam negeri.
Hukuman yang kami terima adalah kami mengerjakan Quiz yang serupa, dengan melihat buku (Opened Book); dari 12 soal, kami diminta mengerjakan 5 soal secara opened book. Kemudian buku ditutup, dan kami diminta mengerjakan soal secara closed book. Begitu seterusnya, hingga kami mengerti sehingga kami dapat mengerti dengan baik setiap jawaban pada Quiz tersebut.
Kelas pun juga berakhir dengan berbahagia.
Kemarin pun saya melihat pemandangan yang juga menakjubkan.
Grup Prof. Kohei M. Itoh kemarin berkumpul dan mencoba mempresentasikan riset-riset apa saja yang telah dilakukan selama ini didepan salah seorang Professor dari Prancis (Professor J.M.Gillet dari Ecole Centrale, Paris).
Yang presentasi di depan Prof. Gillet bukanlah Professor peraih hadiah Nobel atau Prof sekaliber Prof. Itoh, melainkan mahasiswa-mahasiswa S1-nya.
Jangan pula dibayangkan bahwa bahasa inggris mereka luar biasa; bahasa inggrisnya sangat acak-acakan daripada bahasa inggrisnya mahasiswa kita.
Tapi, hebatnya grup ini adalah pada *bimbingan yang luarbiasa* dari Prof. Itoh ke murid-muridnya. Murid2x tersebut dituntun dengan sabar, tanpa ada cacian, sehingga mahasiswa2x mereka tidak menjadi frustasi. Presentasi pun berjalan dengan lancar, banyak ketawanya, tanpa menghilangkan makna presentasi tersebut.
Memang sangat sulit bagi saya menceritakan keindahan seluruhnya proses pendidikan disini; ada baiknya memang dosen-dosen dan guru-guru di Indonesia mengundang langsung mereka ke indonesia, untuk merasakan secara langsung.
Yang saya ingin tunjukkan adalah ternyata belajar dapat tidak identik dengan frustasi. Belajar di kelas dapat menjadi sangat menyenangkan, asalkan sistem pendidikan di institut tersebut berjalan dengan baik.
Ini yang rasanya perlu diselesaikan di indonesia; lingkaran frustasi di negeri kita agaknya mesti diputus.
Guru frustasi karena sedikitnya penghargaan dan gaji.
Kemudian, hal ini dilampiaskan kepada murid; pelampiasan ini berupa memberi hukuman yang membuat murid frustasi.
Murid yang frustasi melampiaskan hal ini kepada yuniornya atau kepada masyarakat (termasuk kepada guru).
Maka terjadilah lingkaran frustasi yang tiada berujung.
Dapatkah lingkaran frustasi ini dihentikan? Saya yakin dapat. Itoh-Sensei, Misaki-Sensei dkk dapat membuktikan hal tersebut.
Salam dari Hiyoshi,
Agung Trisetyarso
Guru kita memang underpaid, sehingga underperformance. Akhirnya dia underloved. Maka yang terjadi adalah spiral frustrasi guru. Dan, kalau pun dia menghukum murid, maka hukuman itu bukan hukuman yang mendidik. Tapi hukuman pelampiasan frustrasi dia.
Tapi Gung…
Kita doakan agar setiap kemarahan, setiap bentakan guru, semoga menjadi pahala bagi mereka kelak. Kita nggak bisa begini tanpa guru. Bukan begitu?
Salam
Kang Budhiana (lahir dari ibu dan bapak yang guru)
Bandung
Betul, Kang Budi; kalo dari sudut pandang kita, itu bisa menjadi pahala (bagi kita).
Tapi apakah bentakan guru karena guru tersebut *frustasi* (baca: tidak ikhlash) dapat menjadi pahala bagi yang bersangkutan?
Saya ragu, tuh, Kang …
guru yang disalahkan atau pemerintah indonesia yang disalahkan atau tidak menyalahkan siapa siapa alias kondisi yang salah? apakah semua yang kamu tulis berdasar pengalaman pribadi sebagai murid dan/atau sebagai pengajar kah? pengalaman pribadi di tempat kamu pernah mengenyam pelajaran ataukah hanya informasi dari sumber sumber lain? apakah kamu yakin jika guru guru di indonesia diberi penghargaan lebih plus gaji tinggi akan mengubah semuanya menjadi jauh lebih baik, btw guru guru sd dan smp bahkan sma negri di jakarta khususnya sudah cukup besar loh gajinya, bisa ditanyakan mungkin ke kerabat dekat (CMIIW). Sepertinya kamu memang sangat terkesan ya dengan seluruh pengalaman pendidikan sangat bagus di jepang sana? apakah memang se sempurna itu, ataukah memang belum menemui batu sandungan yang sedikit cukup menggores hati? kamu pernah mendengar berapa mahasiswa atau pelajar yang frustrasi dan stress di jepang sana, coba deh diperiksa tingkat stress mereka, dan asal muasal stress nya dari mana, berapa dari mereka yang sudah bunuh diri padahal ekonomi mereka masih sangat bagus? terakhir dalam quiz OPENED BOOK (atau OPEN BOOK ya yang benar?) dan CLOSED BOOK memang cukup menarik ya untuk diterapkan. Setelah membaca, kesan pertama kok sepertinya pendidikan di indonesia JADUL sekali, sementara udah cukup banyak pelajar2 berprestasi internasional dari indonesia, bukankah itu BIMBINGAN GURU yang cukup “frustrasi” atau “sangat keras sehingga mendekati ‘kesalahan nol’ buat si pelajar”, aku jadi tambah gak ngerti kenapa memandangnya begitu negatif ya…
Senangnya, bisa mendapat hukuman seperti itu 🙂
Salam kenal…
Memang begitulah nasib guru di Indonesia. Tapi mengeluh terus juga tidak akan memperbaiki keadaan. Ada baiknya setiap opini disertai langkah konkrit untuk memperbaiki kualitas kami sebagai guru. Pendek kata, tak ada guna ide kreatif tanpa diaplikasikan. Rasanya kami ingin melepas rantai yang membelenggu kaki, tangan dan membungkam mulut kami sehingga kami dapat maju ke arah yang progressif. Memang kami underpaid dan jadi kelompok yang dimarginalkan (meski membawa manfaat dan kemaslahatan bagi peradaban), tapi lebih dari itu, kami memerlukan wadah untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri agar dapat lebih berkembang dan profesional. Thanks for paying attention for what we are!