Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Juni, 2007

Ibnu Sina Pemabuk dan Penyembah Berhala?

 

اسلا م عليكم و رحمة الله وبركاته

Diantara penyebab kemunduran umat Islam adalah kebencian sebagian kalangan tokoh di umat ini terhadap para pelopor di bidang filsafat dan sains, terutama terhadap Ibnu Sina. Kebencian ini menjadi legitimasi bagi pengharaman filsafat dan sains itu sendiri. Sebetulnya masalah ini sangat sepele dan kecil, yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan, namun agaknya sebagian orang tetap saja dalam keadaan berburuk sangka kepada Ibnu Sina dkk., jika tidak ada yang berusaha memberitahukan yang sebenarnya.

Apa saja dalil kelompok ini?

  1. Ibnu Sina adalah pemabuk

Mereka berdalih bahwa Ibnu Sina mengakui sendiri kebiasaan mabuknya ini di dalam riwayat hidupnya. Padahal, siapapun yang membaca buku tersebut secara langsung, kita tidak akan menemui hal tersebut.

Akan saya kutipkan dari bukunya langsung (sirah assyaikh ar-rais):

فمهما غلبني النّوم أو شعرت عدلت الى شرب قدح من الشّراب لكيما تعود الى قوتي. ثم أرجع الى القراءة…

 (سيرة الشيخ الرئيس)

 Oleh William E. Gohlman, hal tersebut diterjemahkan sebagai:   

Whenever overcame me or I became conscious of weakening, I would return aside to drink a cup of wine, so that my strength would return to me. Then I would return to reading … (The Life of Ibnu Sina, Translated by William E. Gohlman)

Jelas sekali, terdapat kesalahpahaman (disengaja atau tidak ?) disini; perkataan “qadhin mina asysyarabi” diterjemahkan sebagai “segelas anggur”, padahal arti sebenarnya adalah “segelas minuman”. Segelas minuman ini berfungsi supaya beliau kembali kuat kembali untuk membaca dan menulis. Minuman ini analoginya dengan kehidupan modern adalah seperti minuman suplemen, seperti “KratingDaeng”, “Hemaviton” dst. Intinya, dengan minuman tersebut, beliau akan semakin kuat, yang sangat berbeda sekali fungsinya dengan khamr yang akan menjadikan peminumnya semakin mabuk dan lupa diri.

Prof. Mulyadhi Kertanegara, pendiri CIPSI (http://www.philosophia-cipsi.com),  mengatakan, kalaupun minuman itu adalah anggur, anggur tersebut bukanlah termasuk khamr, yang diharamkan oleh Allah SWT.

  1. Ibnu Sina adalah penyembah berhala

Mereka berdalil, bahwa melalui teori emanasi, Ibnu Sina telah menjadi penyembah berhala, dengan mendefinisikan agama baru. Pendapat ini jelas sekali keluar dari kebodohan seseorang yang tidak tahu dirinya bodoh. 

Perlu diketahui, Ibnu Sina adalah filusuf dan ilmuwan yang teramat sangat ulung. Ia dapat menyusun konsep filsafat berbasis kepada pemikiran Aristotalian dan Platolian sekaligus. Di awal hidupnya, Ibnu Sina membuat konsep eksistensi (wujud) berbasis kepada konsep Aristoteles, dan diakhir hidupnya beliau menyusun teori emanasi, yang menyatakan bahwa alam semesta memiliki ruh (‘aql), berbasis kepada pemikiran Plato. Bagi Ibnu Sina, di fasa pemikirannya yang berbasis Plato ini, alam semesta memiliki nyawa,sebagaimana manusia, hewan dan tumbuhan. Sebagai contoh, matahari; ia memiliki nyawa sehingga menjadi penyebab bagi hidupnya makhluk di muka bumi ini (atas izin Allah SWT, tentunya).

Sayyid Hossein Nasr menulis di bukunya “SAINS DAN PERADABAN DALAM ISLAM” di halaman 274 dan seterusnya:

“Ibn Sina bukan hanya seorang filosof peripatetic, yang menggabungkan doktrin Aristoteles dengan unsure-unsur tertentu dari NeoPlatonisme dan seorang saintis yang mengamati alam dalam kerangka filsafat abad pertengahan tentang alam; dia juga salah seorang perintis aliran metafisik iluminiasionis (isyraq) yang eksponen terbesarnya adalah Suhrawardhi. Dalam karya-karya akhirnya, istimewa Hikayat Penglihatan dan naskah-naskah cinta, kosmos-kosmos dari para filosof syllogistic menjelma jadi suatu dunia lambing-lambang, yang dijelajahi seorang gnostik menuju kebahagian akhirnya. Dalam “Logika” Bangsa Timur , yang merupakan bahagian karyanya yang lebih besar, yang kebanyakan telah hilang, Ibn Sina menolak karya-karya sendirinya yang terdahulu, yang pada umumnya berpaham Aristoteles, yang hanya cocok untuk rakyat biasa; sebagai gantinya ia menyuguhkan bagi kaum elite “filosofi timur”. Triloginya – Hayy Ibn Yaqzhan, Al-Thair dan Salman wa Absal, membahas siklus menyeluruh dari tamasya gnostik dari “dunia bayangan” ke Kehadiran Ilahi, Timur yang Terang. Dalam tulisan-tulisannya ini, bagan dari alam filosof dan saintis abad pertengahan tidak berubah; hanya kosmos menjadi terkurung dalam diri sang gnostik – suatu “gua” yang harus menjadi acuan orientasi seorang anggota pemula dan yang harus dilaluinya. Fakta dan fenomena alam menjadi transparan, jadi lambing-lambang yang punya makna spiritual bagi pelaku yang dalam tamasya kosmis ini berhubungan dengannya.

             Keseluruhan karya Ibnu Sina memberikan satu contoh yang jelas tentang hirarki pengetahuan dalam masyarakat Islam. Dia adalah pengamat dan peneliti geologi dan ilmu kedokteran, seorang filosof aliran peripatetic, lebih menuruti paham neoplatonis ketimbang aristoteles; dan ia seorang penulis teks gnostik yang kelak menjadi sumber banyak komentar oleh iluminasionis setelah dia. Dari tulisannya terlihat keselarasan pengetahuan yang nyata, rasional dan intelektual, yang diungkapkan seumpama bangunan megah berdasarkan hirarki sifat dan segala hal dan yang akhirnya bertumpu pada keadaan dan tingkat majemuk dari manifestasi kosmis.”

(Sayyid Hossein Nasr, “SAINS DAN PERADABAN DALAM ISLAM”, halaman 274)

Pembaca saya sarankan untuk membaca buku Nasr tersebut untuk memahami Ibnu Sina, karena dibuku tersebut juga dibahas langsung beberapa ide-ide besar Ibnu Sina. Tentu, kutipan-kutipannya diambil langsung dari karya-karya otentik Ibnu Sina.

Dua butir di atas semoga cukup membuat jera dan paham sebagian orang yang kini masih saja sibuk mengkafir-kafirkan Ibnu Sina dan untuk beralih dari kebiasaan menghujat, menjadi kebiasaan mengkaji ilmu.

Mari kita biasakan kebiasaan Ibnu Sina, yaitu membaca dan menulis dengan sangat produktif, yang diselingi dengan shalat (dan sesekali minum suplemen agar sehat dan tidak cepat mengantuk).

وسلا م عليكم و رحمة الله وبركاته

Wass.,

Agung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Iklan

Read Full Post »

Penyesalan Setelah 900 Tahun 

Ibnu Rusyd di Tahafut Al-Tahafut mengatakan, bahwa seluruh
kesalahpahaman terhadap Ibnu Sina disebabkan ketidakmengertian yang
bersangkutan akan konsep pengrusakan simetri (symmetry breaking),
yaitu berubahnya fasa dari sebuah sistem ke sistem lain.

Untuk kasus kejadian alam semesta, konsep ini mengatakan bahwa alam
semesta berasal dari wujud potensial ke wujud alam semesta. Potensial
alam semesta itu sendiri kekal, karena bebas dari ruang dan waktu;
ruang dan waktu eksis bersamaan dengan kejadian alam semesta. Keadaan
potensial itu dalam sains modern dikatakan sebagai “singularity point”
atau titik singularitas. Sistem potensial ini, menurut
Glashow-Salam-Weinberg adalah sistem tanpa massa, atau sering
dikatakan sebagai massless boson (atau Goldstone Boson.)

Mungkin supaya lebih afdhalnya saya kutipkan ucapan Ibnu Rusyd ini
(dilain waktu akan saya kutipkan Arabnya):

“The theologians perceived the agent in the way the weaksighted
perceive the shadow of a thing instead of the thing itself and then
mistake the shadow for it. But, as you see, all these difficulties
arise for the man who has not understood that production is the
conversion of a thing from potential into actual existence, and that
destruction is the reverse, i.e. the change from the actual into the
potentials It appears from this that possibility and matter are
necessarily connected with anything becoming, and that what is
subsistent in itself can be neither destroyed nor produced.”

Potensial memiliki simetri tertentu, kemudian berubah menjadi universe
(atau sebuah sistem secara umum) dengan simetri tertentu.

Simetri adalah atribut yang dapat diberikan kepada sebuah sistem.

Bagaimana dengan Ibnu Sina?

Di dalam Kitab An-Najaat, Ibnu sina membagi tiga jenis eksistensi, yaitu:

1. “wajibul wujud bidzaatihi” akan ditemui di tahafut al-tahafut
terjemahan bahasa inggris sebagai “necessary existence by itself”. Di
An-Najaat dijelaskan bahwa “wajibul wujud bidzaatihi” adalah Allah
SWT, atau The First (Al-Awwal), atau Pure Good (khairu mahdhin), atau
Wujud Murni (Pure Existence dalam istilah Wihdatul Wujud)

Untuk lengkapnya silakan buka bagian di Kitab An-Najaat:

Fii anna al-waajiba bidzaatihi khairu mahdhin (halaman 265)

2. “wajibul wujud bighairihi” akan ditemui sebagai “necessary
existence through another”; karena itu necessary existence jenis ini
adalah juga “contingent being”, karena keberadaannya membutuhkan
keberadaan pihak lain.

3. Potential existence, yaitu potensial alam semesta, dengan istilah
mumkinul wujud.

Hubungan “necessary existence through another” (“wajibul wujud
bighairihi”) dengan “potential existence” (mumkinul wujud) dapat
dibaca dalam bagian:

> Fii bayaani ma’aanii Al-Waajib wa ma’aanii Al-Mumkin (261)

Sedangkan bagian dibawah ini menjelaskan hubungan ketiganya:

> Fii anna Al-Waajiba bi dzaatihi laa yajuuzu ayyakuunu waa jiban
> bighairihi wa anna Al-Wajiba bighairihi mumkin (262)

Jadi jelas sekali, bahwa Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, yang hidup
dari tahun 1126 M s/d 1198 M, sudah memahami ide pengrusakan simetri
(symmetry breaking) di masa hidupnya. Dan, Ibnu Sina, yang bernama
lengkap Abu ‘Ali Al-Husain Ibn Sina, yang hidup dari 980 M s/d 1037 M,
sudah mengetahui ide tersebut jauh hari sebelum Ibn Rusyd. Ironis
memang, ide mereka tidak diteruskan oleh umat Islam, melainkan oleh
peradaban barat 900 tahun kemudian. Kemudian munculah Goldstone Boson,
Higgs mechanism dll

Karya-karya mereka selama 900 tahun telah menjadi pariah dikalangan
umat Islam sendiri; padahal alasan untuk menjadikan karya mereka
sesuatu yang terbuang tidaklah layak, yaitu SEBATAS PRASANGKA.

Awalnya berbasis pada kritikan Al-Ghazali. Padahal kalau kita pelajari
dengan cermat, kerjaan Imam Al-Ghazali memang selalu mengkritisi
pemikiran orang lain, termasuk gurunya sendiri. Selain itu, kritikan
Al-Ghazali pun dapat diimbangi oleh jawaban Ibnu Rusyd.

Kebencian sebagian umat terhadap karya Ibnu Sina dkk diteruskan oleh
tokoh-tokoh dan aliran-aliran yang mengkafir-kafirkan ide mereka.
Sebagian mengatakan Ibnu Sina dkk menganut politeistik hanya karena
Ibnu Sina dkk mengambil pendapat Aristotle. Padahal kalau kita
mengikuti tulisan Ibnu Rusyd dengan seksama, maka terbukti bahwa ide
Aristotle tersebut tidak berkenaan dengan politeistik.

Fatwa “kafir”, dengan segala spektrumnya (mulai dari yang sebatas
mengkafirkan ide sampai dengan mengkafirkan dalam arti
sebenar-benarnya), telah menjauhkan umat Islam dari filsafat dan
sains. Akhirnya, yang terjadi selama 900 tahun adalah budaya
kafir-mengkafirkan dan budaya tasawuf yang sangat jauh dari filsafat
dan sains.

Sekarang ini, setelah 900 tahun ide-ide mereka terbuang, umat Islam
(itupun sebagian kecil saja) barulah sadar, bahwa sikap yang diambil
selama ini adalah salah. Membuang karya Ibn Bajah (yang merupakan
referensi bagi Galileo), Al-Thusi (yang merupakan referensi bagi
Copernicus), Al-Khawarizmi, Ibnu Haitsam, Ibn Sina dkk hanya berdampak
kepada kemunduran.

Mungkin sudah cukup terlambat, mengingat sekarang ini peradaban umat
Islam tengah carut-marut; para cendikiawannya banyak yang telah
mengalami brain-wash ala barat atau yang lulusan timur tengah masih
terimbas kepada mengharamkan karya Ibnu Sina dkk. Kedua jenis manusia
ini pada hakikatnya sama, yaitu mendikotomi antara agama dan sains.
Bagi yang berlatar belakang sains, memandang bahwa sains tidak dapat
mengantarkan kepada Tuhan, sedangkan kelompok kedua, yang berlatang
belakang agama, memandang ilmu agama adalah yang paling utama,
sedangkan ilmu sains hanya membawa kepada kesesatan sebagaimana yang
dialami Ibnu Sina.

Akhirul kalam, saya cuma bisa berdoa, semoga waktu selama 900 tahun
sudah cukup bagi umat Islam sedunia untuk menyadari kesalahan mereka
selama ini …

Wass.,

Agung Tri (Marbot Masjid Darul Istiqomah, Tanah Baru, Depok)

Read Full Post »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Read Full Post »