Penyesalan Setelah 900 Tahun
Ibnu Rusyd di Tahafut Al-Tahafut mengatakan, bahwa seluruh
kesalahpahaman terhadap Ibnu Sina disebabkan ketidakmengertian yang
bersangkutan akan konsep pengrusakan simetri (symmetry breaking),
yaitu berubahnya fasa dari sebuah sistem ke sistem lain.
Untuk kasus kejadian alam semesta, konsep ini mengatakan bahwa alam
semesta berasal dari wujud potensial ke wujud alam semesta. Potensial
alam semesta itu sendiri kekal, karena bebas dari ruang dan waktu;
ruang dan waktu eksis bersamaan dengan kejadian alam semesta. Keadaan
potensial itu dalam sains modern dikatakan sebagai “singularity point”
atau titik singularitas. Sistem potensial ini, menurut
Glashow-Salam-Weinberg adalah sistem tanpa massa, atau sering
dikatakan sebagai massless boson (atau Goldstone Boson.)
Mungkin supaya lebih afdhalnya saya kutipkan ucapan Ibnu Rusyd ini
(dilain waktu akan saya kutipkan Arabnya):
“The theologians perceived the agent in the way the weaksighted
perceive the shadow of a thing instead of the thing itself and then
mistake the shadow for it. But, as you see, all these difficulties
arise for the man who has not understood that production is the
conversion of a thing from potential into actual existence, and that
destruction is the reverse, i.e. the change from the actual into the
potentials It appears from this that possibility and matter are
necessarily connected with anything becoming, and that what is
subsistent in itself can be neither destroyed nor produced.”
Potensial memiliki simetri tertentu, kemudian berubah menjadi universe
(atau sebuah sistem secara umum) dengan simetri tertentu.
Simetri adalah atribut yang dapat diberikan kepada sebuah sistem.
Bagaimana dengan Ibnu Sina?
Di dalam Kitab An-Najaat, Ibnu sina membagi tiga jenis eksistensi, yaitu:
1. “wajibul wujud bidzaatihi” akan ditemui di tahafut al-tahafut
terjemahan bahasa inggris sebagai “necessary existence by itself”. Di
An-Najaat dijelaskan bahwa “wajibul wujud bidzaatihi” adalah Allah
SWT, atau The First (Al-Awwal), atau Pure Good (khairu mahdhin), atau
Wujud Murni (Pure Existence dalam istilah Wihdatul Wujud)
Untuk lengkapnya silakan buka bagian di Kitab An-Najaat:
Fii anna al-waajiba bidzaatihi khairu mahdhin (halaman 265)
2. “wajibul wujud bighairihi” akan ditemui sebagai “necessary
existence through another”; karena itu necessary existence jenis ini
adalah juga “contingent being”, karena keberadaannya membutuhkan
keberadaan pihak lain.
3. Potential existence, yaitu potensial alam semesta, dengan istilah
mumkinul wujud.
Hubungan “necessary existence through another” (“wajibul wujud
bighairihi”) dengan “potential existence” (mumkinul wujud) dapat
dibaca dalam bagian:
> Fii bayaani ma’aanii Al-Waajib wa ma’aanii Al-Mumkin (261)
Sedangkan bagian dibawah ini menjelaskan hubungan ketiganya:
> Fii anna Al-Waajiba bi dzaatihi laa yajuuzu ayyakuunu waa jiban
> bighairihi wa anna Al-Wajiba bighairihi mumkin (262)
Jadi jelas sekali, bahwa Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, yang hidup
dari tahun 1126 M s/d 1198 M, sudah memahami ide pengrusakan simetri
(symmetry breaking) di masa hidupnya. Dan, Ibnu Sina, yang bernama
lengkap Abu ‘Ali Al-Husain Ibn Sina, yang hidup dari 980 M s/d 1037 M,
sudah mengetahui ide tersebut jauh hari sebelum Ibn Rusyd. Ironis
memang, ide mereka tidak diteruskan oleh umat Islam, melainkan oleh
peradaban barat 900 tahun kemudian. Kemudian munculah Goldstone Boson,
Higgs mechanism dll
Karya-karya mereka selama 900 tahun telah menjadi pariah dikalangan
umat Islam sendiri; padahal alasan untuk menjadikan karya mereka
sesuatu yang terbuang tidaklah layak, yaitu SEBATAS PRASANGKA.
Awalnya berbasis pada kritikan Al-Ghazali. Padahal kalau kita pelajari
dengan cermat, kerjaan Imam Al-Ghazali memang selalu mengkritisi
pemikiran orang lain, termasuk gurunya sendiri. Selain itu, kritikan
Al-Ghazali pun dapat diimbangi oleh jawaban Ibnu Rusyd.
Kebencian sebagian umat terhadap karya Ibnu Sina dkk diteruskan oleh
tokoh-tokoh dan aliran-aliran yang mengkafir-kafirkan ide mereka.
Sebagian mengatakan Ibnu Sina dkk menganut politeistik hanya karena
Ibnu Sina dkk mengambil pendapat Aristotle. Padahal kalau kita
mengikuti tulisan Ibnu Rusyd dengan seksama, maka terbukti bahwa ide
Aristotle tersebut tidak berkenaan dengan politeistik.
Fatwa “kafir”, dengan segala spektrumnya (mulai dari yang sebatas
mengkafirkan ide sampai dengan mengkafirkan dalam arti
sebenar-benarnya), telah menjauhkan umat Islam dari filsafat dan
sains. Akhirnya, yang terjadi selama 900 tahun adalah budaya
kafir-mengkafirkan dan budaya tasawuf yang sangat jauh dari filsafat
dan sains.
Sekarang ini, setelah 900 tahun ide-ide mereka terbuang, umat Islam
(itupun sebagian kecil saja) barulah sadar, bahwa sikap yang diambil
selama ini adalah salah. Membuang karya Ibn Bajah (yang merupakan
referensi bagi Galileo), Al-Thusi (yang merupakan referensi bagi
Copernicus), Al-Khawarizmi, Ibnu Haitsam, Ibn Sina dkk hanya berdampak
kepada kemunduran.
Mungkin sudah cukup terlambat, mengingat sekarang ini peradaban umat
Islam tengah carut-marut; para cendikiawannya banyak yang telah
mengalami brain-wash ala barat atau yang lulusan timur tengah masih
terimbas kepada mengharamkan karya Ibnu Sina dkk. Kedua jenis manusia
ini pada hakikatnya sama, yaitu mendikotomi antara agama dan sains.
Bagi yang berlatar belakang sains, memandang bahwa sains tidak dapat
mengantarkan kepada Tuhan, sedangkan kelompok kedua, yang berlatang
belakang agama, memandang ilmu agama adalah yang paling utama,
sedangkan ilmu sains hanya membawa kepada kesesatan sebagaimana yang
dialami Ibnu Sina.
Akhirul kalam, saya cuma bisa berdoa, semoga waktu selama 900 tahun
sudah cukup bagi umat Islam sedunia untuk menyadari kesalahan mereka
selama ini …
Wass.,
Agung Tri (Marbot Masjid Darul Istiqomah, Tanah Baru, Depok)
Tinggalkan Balasan