Rekan-Rekan yth.,
Dalam sebuah milis, ada seorang alumni ITB yang sangat terkejut dengan perkembangan yang terjadi di daerah Balubur dan sekitarnya.
Beliau, yang angkatan 80-an tersebut, sangat terkejut dengan perubahan drastis yang terjadi dengan daerah yang dulu cukup berkesan tersebut; kemudian saya jadi berpikir kembali, apakah pembangunan selalu seperti yang dikatakan Iwan Fals dalam “Ujung Jalan Pondok Gede”, yaitu selalu tidak beradab?
Ternyata tidak selalu begitu.
Saya diceritakan oleh Mas Achmad Husni Thamrin, yang merupakan “sesepuh” kami di Keio, dulu ketika kampus SFC dibangun, ada sekeluarga elang yang memiliki sarang di sebuah lokasi yang merupakan bagian dari rencana pembangunan tersebut. Hebatnya perasaan para kontraktor di Keio adalah elang yang berkeluarga tersebut tidak diusir, melainkan diberikan tempat dan waktu yang lama untuk mencari tempat baru. Keluarga elang tersebut diberi waktu untuk berkeluarga, membesarkan anak dengan nyaman dst., sampai akhirnya elang tersebut benar-benar pindah.
Begitu juga kalau kita lihat dengan pembangunan di Keio dsb; pembangunan tersebut tidak melanggar estetika dan juga etika yang ada, sehingga pembangunan dalam skala besar dan kecil dapat dilakukan dengan beradab; yaitu tidak mengganggu masyarakat sekitar.
Memang ironi sekali, kalau kita lihat di bangsa kita yang konon kabarnya, bersilakan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dsb., dan konon kabarnya pada beriman.
Pembangunan seringkali dilakukan tanpa mengindahkan etika dan estetika yang ada; misal pembangunan jalan layang di balubur benar-benar meluluhlantakkan romantisme suasana balubur, persis seperti yang pernah dikatakan Iwan Fals dalam syairnya:
“Ujung Aspal Pondok Gede
Karya : Iwan Fals ( Album Sore Tugu Pancoran 1985 )
Di kamar ini aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari ibu
Nama dusunku ujung aspal pondok gede
Rimbun dan anggun ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu persatu sahabat pergi dan tak akan pernah kembali”
Thx to http://iwanfalsmania.blogspot.com/2006/04/ujung-aspal-pondok-gede.html
[…] https://trisetyarso.wordpress.com/2007/11/02/pahlawan-di-sekitar-kita-si-budi/ https://trisetyarso.wordpress.com/2007/11/01/ujung-jalan-balubur/ […]