Sebuah Saran kepada Para Calon Pembunuh Diri Sendiri
[Surat ini ditujukan kepada para Bapak, Ibu, dan para hadirin yang sedang mempertimbangkan membunuh sanak keluarga dan dirinya sendiri, dikarenakan sangat sayangnya terhadap mereka; seperti yang terjadi pada seorang Ibu di Malang atau seorang Ibu di Bandung yang terjadi tahun lalu]
Assalamu’alaykum wr. wb.,
Bapak, Ibu, dan hadirin yang saya hormati,
Pertama-tama perkenankan saya memperkenalkan diri.
Nama saya adalah Agung Trisetyarso.
Saya adalah marbot [yunior] di masjid Darul Istiqomah, kelurahan Tanah Baru, kecamatan Beji, Depok.
Menurut seorang marbot senior di masjid kami, pekerjaan mabot didefinisikan sebagai:
“Pekerjaan memakmurkan masjid yang jam kerjanya dimulai sebelum subuh dan diakhiri sesudah isya. Diantara luang lingkup pekerjaannya adalah:
1. Membersihkan masjid [menyapu dsb]
2. Mengajak masyarakat untuk shalat berjamaah [termasuk membangunkan masyarakat]
3. Menjadi Muazin
4. Menjadi Imam Masjid
5. Menjadi penceramah/pengganti penceramah
6. Menjaga masjid”
Pengkelasan Marbot [Marbot Senior dan Marbot Yunior] adalah berdasarkan kuantitas dan kualitas dari tugas-tugas tersebut. Misal, seorang Marbot Senior harus datang ke Masjid beberapa jam sebelum shalat shubuh dimulai. Di tempat kami, biasanya seorang Marbot Senior sudah datang pada jam 3 pagi. Sedangkan yang yunior baru datang beberapa menit sebelum azan shubuh.
Gaji Marbot dalam bentuk uang mungkin sangat jauh sekali dibawah UMR; seperti yang saya terima sebagai marbot junior di masjid ini hanyalah 20 ribu rupiah per bulan [Marbot Senior bisa mencapai 300 ribu rupiah per bulan]
Sebelum menjadi Marbot Masjid Darul Istiqomah, saya telah berpengalaman menjadi marbot di Masjid As-Saakinah [Tanah Kusir, Jakarta] dan Masjid Al-Lathief [Dago Kanayakan, Bandung].
Pada surat ini saya, yang mencoba mewakili profesi marbot masjid dan mushalla, mengimbau para hadirin untuk berfikir kembali jika terlintas difikiran untuk menghabisi diri sendiri dan sanak keluarga, karena dirasakan tidak mampu menghadapi masa depan.
Penyebab utama dari penyakit sosial yang satu ini adalah selama ini kita salah dalam mengambil panutan; selebriti lebih kita jadikan panutan daripada para ustadz, marbot masjid dan rohaniawan. Sehingga ukuran utama hidup kita sekarang ini adalah materi dan popularitas. Keberhasilan hidup selalu diukur dalam kedua kerangka tersebut.
Kalau ingin bertanya masalah hidup, termasuk permasalahan ekonomi dan keluarga, cobalah kita belajar ke para marbot senior, janganlah kita bertanya ke para selebriti atau para tokoh kapitalis yang lainnya.
“Marbot Senior adalah para pekerja yang dianggap sepele di mata makhluq, tapi sangat besar di mata Khaliq
Mereka bekerja di kegelapan malam dunia, tapi di gemerlapnya cahaya akhirat
Mereka tidak terkenal di mata makhluq, tapi sangat terkenal di kalangan malaikat
Ucapan mereka adalah Dzikir, tidak mengguncang dunia, tapi mengguncang Arasy Allah SWT
Mereka berpenghasilan kecil, tapi berbahagia dunia akhirat, lahir dan bathin
Sebaliknya, para selebriti adalah para pekerja yang dianggap besar di mata makhluq, tapi sangat kecil di mata Khaliq
Mereka bekerja di gemerlapnya cahaya dunia, tapi di dalam kegelapan akhirat
Mereka terkenal di mata makhluq, tapi [karena kemaksiatan yang mereka lakukan] tidak terkenal di kalangan malaikat
Ucapan mereka adalah kelalaian, mengguncang dunia, tapi tidak mengguncang Arasy Allah SWT
Mereka berpenghasilan sangat besar, tapi sengsara dunia akhirat, lahir dan bathin“
Maka dari itu profesi Marbot lebih mulia dan utama di mata Allah SWT; jika para marbot di seluruh dunia menghentikan pekerjaannya dalam beberapa hari, maka seluruh alam semesta ini akan berhenti beraktifitas, yang berujung pada terjadinya kiamat.
“Kiamat tidak akan berdiri sehingga di bumi tidak pernah disebut lagi nama ‘Allah’, ‘Allah'”[Hadist riwayat Muslim dari Anas]
Sebaliknya, apakah itu akan berlaku pada profesi selebriti?
Cobalah kita lihat selebriti yang kita jadikan tuntunan selama ini; mayoritas dari mereka adalah para pengkhianat terhadap diri sendiri. Bahkan mereka tidak dapat memenuhi janji terhadap mereka sendiri; mereka tidak dapat berkomitmen terhadap pernikahan, pasangan hidup, anak, dst. Para selebriti adalah golongan yang ucapannya tidak dapat dipegang [dipercaya]; sekarang berkata A, besok berkata B, besoknya lagi berkata C, dst. Sekarang berkata setia terhadap pasangannya, besok ia telah menceraikannya. Sekarang ia teguh memegang keyakinannya, besok pula ia menanggalkan keyakinan tersebut.
Sebaliknya, para marbot masjid adalah kelompok masyarakat yang istiqomah [konsisten], karena pekerjaan mereka menuntut kejujuran kepada Al-Khaaliq, baik ada makhluq maupun tidak ada makhluq.
Seorang Marbot Senior, dengan uang 200 ribu rupiah per bulan dapat menghidupi 7 orang anak. Tapi, seorang selebriti, dengan penghasilan miliaran rupiah per bulan, tak dapat menghidupi seorang anak pun, bahkan tidak cukup untuk dirinya sendiri. Marilah kita renungi kisah Michael Jackson, Mike Tyson, Elvis Presley, Marlyn Moenroe, dst.
Itu semua tidak bisa dilepaskan dari sifat industri selebriti dan kapitalis yang sebetulnya sangat kejam.
“Industri kapitalis adalah industri dengan uang kiblatnya
yang mengharuskan seseorang menghalalkan segala cara
Demi kesuksesan
Begitu juga, harus saling menyikut dan mengalahkan
Demi popularitas dan kekayaan
Industri ini sangat cepat mengangkat seseorang,
begitu juga cepat menghempaskan sekeras-kerasnya ke dasar yang paling dalam
Industri ini hanya untuk orang-orang tertentu;
yaitu mereka yang bersedia berbuat kejam dengan dibungkus kemanisan “
Industri kapitalis [yang berbasis kepada keyakinan bahwa uanglah segala-galanya] yang serba kejam ini, mengakibatkan para tokoh kapitalis, seperti para selebriti, banyak mengumbar senyum di depan publik, tapi sebetulnya hati nuraninya telah mati karena kemaksiatan yang mereka lakukan.
Sebaliknya, para marbot masjid dihasilkan dari ‘industri dzikir’ yang sangat mulia.
“Industri dzikir adalah industri dengan Allah kiblatnya
yang mengharuskan seseorang menghalalkan yang halal
dan mengharamkan yang haram
Begitu juga, harus saling membantu
Demi ketenangan hati
Industri ini selalu terbuka bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. “
Industri dzikir adalah industri yang berbasis kepada dzikir; malam hari dihiasi dengan berdzikir lisan, sedangkan di siang hari dihiasi dengan dzikir hati, yang dimanifestasikan dalam bentuk pelayanan kepada para makhluq. Rasulullah SAW bersabda:”Sayangilah yang di bumi, maka engkau akan disayangi oleh yang di langit.”
Para selebriti bekerja kepada raja-raja kapitalis yang tamak dan haus akan uang, sehingga mereka tidak sadar karena pada hakikatnya mereka tengah diperah separah-parahnya, sebelum nantinya dihempaskan ke jurang yang paling dasar.
Para marbot masjid bekerja kepada Maha Raja alam semesta, sehingga tidak khawatir akan masa depan diri dan keluarganya, sekecil apapun upah dari makhluq yang mereka terima. Allah SWT sendiri yang menjamin rezeki kepada mereka.[20:132, 24:32, 65:4,7]
Maka dari itu, hendaknya marilah kita membagi masalah kita kepada para marbot masjid, jangan ke para selebriti. Acuan hidup kita menjadi rusak berantakan, karena para selebriti dengan hidup yang serba kejam yang kita jadikan panutan. Marilah kita merubah panutan hidup kita kepada para penjaga moral, yang hidup di masyarakat.
“Para marbot masjid selalu memancarkan cahaya,
karena mereka selalu berinteraksi dengan Maha Cahaya [An-Nuur]
Sedangkan, para selebriti, pada hakikatnya bermuka masam,
sekalipun ditutupi bedak setebal apapun. “
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur … ”
[Al-Hadiid:30]
Wassalamu’alaykum wr. wb.,
Agung Tri
pencerahan bagi jiwa saya yang begitu banyan setan-setan materialistis di dalam aliran darah saya .
wasalam
saran yang bagus….
di tulisan mas membandingkan marbot, selebritis dan orang yang mau bunuh diri.
kenapa harus selebriti?
kenapa selebriti yang disalahkan?
apakah semua orang yang membunuh diri sendiri/keluarga karena ingin seperti selebriti?
sepertinya tidak semuanya seperti itu.
saya jadi teringat orang tua saya yang dari sejak saya kecil harus cari duit siang malam hanya ingin anak-anak nya sukses. dan saya yakin semua orang tua juga seperti itu. Dan bukan bertujuan ingin seperti selebritis kan?.
saya tidak mengerti kenapa alasan melihat selebritis seolah-olah jadi seperti alasan utama orang-orang dalam menjalani hidup.
panutan tidak hanya selebritis dan ustadz. orang-orang berilmu juga bisa dijadikan panutan.
apa mas mengambil contoh saja dengan membandingkan panutan ustandz dan selebritis?
apa karena mas pernah jadi marbot dan tau kehidupan marbot? kalo contoh yang lain gimana? kehidupan presiden misalnya? ato kehidupan pedagang?
Eggy, selama di Indonesia, tepatnya semenjak SMA, ketika kuliah di Bandung dan ketika hidup di Depok, saya menikmati hidup sebagai marbot.
Detailnya tidak bisa dijelaskan disini; kamu dapat mendapat penjelasan dari saya secara pribadi.
Ana sangat setuju…Allahu Akbar…
Menurut saya, Marbot berasal dari kata Mardhot, penggalan kata Mardhotillah yang artinya mencari keridghoan Allah. Seorang marbot selayaknya adalah orang yang kaya dan berpendidikan mumpuni. Pekerjaan marbot/mardhot adalah pekerjaan yang unik yang tidak semua orang mampu melakukannya, tidak semua orang.
Tapi yang sangat disayangkan adalah kebanyakan mardhot-mardhot di seluruh masjid di Indonesia ini adalah hany mardhot biasa bukan mardhot professional. Pekerjaan mardhot biasanya hanya pekerjaan sambilan, freeland, atau mungkin pilihan terakhir, daripada nggak ada kerjaan.
Berapa ribu orang sarjana agama yang dihasilkan industri pendidikan setiap tahunnya? Berapa banyak pula diantara mereka yang punya cita-cita menjadi mardhot masjid? Atau mungkin malah nggak ada sama sekali. Inna Lilah.
Tanya kenapa?
Karena mungkin (seperti pada tulisan Anda) hidup sebagai mardhot adalah jalan pilihan terakhir yang digaji sekedarnya. Seharusnya yang menjadi ketua Masjid adalah orang-orang seperti Anda yang mengerti bagaimana rasanya menjadi mardhot.
Bila ini terjadi -para pengurus masjid adalah orang ngerti- maka insya ALlah para sarjana akan berbondong-bondong mengajukan lamaran ke masjid-masjid. Akibatnya, seluruh masjid kegiatannya insya Allah makmur, inofatif, berwawasan.
La iya laah. wong marbotnya aja bertitel S.Ag., S.Q., S.Th.I., S.E.I., Lc., dll