(Tulisan ini adalah salah satu rangkaian diskusi dalam sebuah milis. Silakan lihat di kolom “komentar” (comment))
Coba pikirkan, berapa banyakkah guru dan dosen yang dapat bersuara di DPR?
Setahu saya sih gak ada karena memang gak mungkin.
Untuk menjadi wakil rakyat di dari PKS, yang dikenal partai yang relatif bersih, itu mesti menyediakan dana sekitar 10 jutaan. Uang itu dimaksudkan sebagai uang kampanye, membantu kampanye yang dilakukan partai.
(Bagi guru yang jujur, 10 juta mending untuk beli motor!)
Kalo di GOLKAR, harus sedia di atas 50 juta; untuk setori ke DPD, DPP dsb, plus uang kampanye.
(Maka dari itu Bupati Majalengka yang sekarang pernah pinjam 3,5 miliar untuk hal-hal ini)
Partai lain yang GOLKAR-like, seperti PDIP, Demokrat, dsb, ya … bermodus seperti GOLKAR bahkan lebih parah.
Jadi, ya, … tidak mungkinlah Guru atau Dosen jadi anggota DPRD, DPR dsb.
Selain kagak punya duit, saya yakin masih banyak Guru dan Dosen yang masih punya hati nurani, sehingga gak bersedia bersedia ikut-ikutan sistem begituan.
Itulah sebabnya gak ada Guru dan Dosen (yang jujur) yang bisa menembus DPR dan MPR.
Nah … hadirin silakan memilih deh, apakah sistem politik kita akan kita biarkan berjalan seperti sekarang ini, yaitu sistem politik tanpa melibatkan hati nurani yaitu cuma berbasis duit semata, atau kita memperjuangkan sistem politik baru yang lebih menyuarakan hati nurani.
Wass.,
Agung
Siapakah “Ruling Elite” Indonesia?
oleh Anies Baswedan
Demokrasi adalah kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sebagai slogan,
kata-kata Abraham Lincoln itu tampak menarik. Dalam kenyataannya, kekuasaan
itu tidak identik dengan rakyat kebanyakan, tetapi dengan kaum elite. Kaum
elite adalah bagian dari rakyat yang mengontrol akses pada sumber daya
ekonomi dan politik, seperti finansial, informasi, pendidikan, status
sosial, dan agama.
Kaum elite biasanya terpolarisasi. Eksistensi demokrasi membuat kompetisi
antarpolar elite itu bisa terjadi dan bisa melibatkan rakyat kebanyakan.
Dengan atau tanpa demokrasi, kaum elitelah yang tetap menentukan. Itu
kira-kira pandangan teori elite yang digagas oleh Pareto, Mosca, Michel atau
Mill. Intinya, elite yang minoritas jumlahnya menentukan mayoritas
keputusan.
Bagaimana dengan elite di Indonesia? Bagaimana formasi dan sirkulasi elite
Indonesia? Tulisan ini mencoba menjabarkan secara singkat pola umum formasi
elite Indonesia selama 100 tahun terakhir dengan menggunakan kerangka
analisis Path Dependence (Historical Institutionalism).
Ruling elite adalah sekelompok elite—di antara kaum elite-elite yang
lain—yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Tesis yang
diajukan di sini adalah pembentukan ruling elite ditentukan oleh (1)
perekrutan anak-anak muda dan (2) tren utama bangsa.
Tren utama bangsa ini berubah dari satu masa ke masa berikutnya seiring
dengan perjalanan sejarah. Anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat
dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di
dalam ruling elite. Di sinilah kerangka Path Dependence jadi relevan dan
powerful.
Elite intelektual
Sampai dengan akhir abad 19, jalur utama formasi elite di Indonesia adalah
aristokrasi. Pendirian sekolah modern (barat) di seluruh Nusantara sejak
tahun 1901 membuat tren baru dan utama. Elite bukan saja berdasarkan
keturunan dan kepangkatan sosial, tetapi juga berdasarkan tingkat
pendidikannya. Makin terdidik, makin tinggi status dan pengaruhnya.
Pada masa ini, para pembawa ilmu pengetahuan (seperti guru) menjadi
referensi dan kebanggaan. Bahkan, anak-anak muda yang memasuki pendidikan
tinggi disebut “mahasiswa” bukan sekadar siswa. Anak-anak muda yang masuk ke
dunia pendidikan di periode 1900-1940-an ini kemudian berkenalan dengan ide-
ide politik modern dan menjadi bagian dari gerakan global melawan
kolonialisme.
Pada periode ini pendidikan menjadi tren utama bangsa ini dan kunci utama
untuk meraih sukses. Dari pendidikan modern ini terbentuklah elite
intelektual yang jadi motor pergerakan nasional, seperti Soekarno, Hatta,
dan Sjahrir. Ketika Indonesia meraih kemerdekaan, kaum intelektual ini
menjadi ruling elite pertama di negeri ini.
Elite militer
Penjajahan Jepang dan Perang Dunia II membentuk setting mempertahankan
kemerdekaan melalui kekuatan militer. Res- pons militer Belanda (dan Seku-
tu) makin merangsang reaksi kolektif dan gelora mempertahankan kemerdekaan
secara militer. Laskar dan milisi menjamur di segala penjuru Nusantara.
Tren utama bangsa pada masa itu adalah mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan teritorial bangsa. Saat itu terjadi pere- krutan besar-besaran di
kalangan anak-anak muda dengan satu syarat: berani perang. Terlebih,
relokasi ibu kota ke Yogyakarta membuat anak-anak muda di kawasan
itu—seperti Soeharto dan generasinya—memainkan peran sentral.
Dalam perjalanannya, anak- anak muda ini kemudian menjadi aktor-aktor
penting di tubuh Angkatan Darat. Dan, ketika konflik politik di tahun
1960-an berakhir dengan kemunculan TNI AD di arena kekuasaan, muncul pula
ruling elite baru Indonesia. Ruling elite bukan lagi dari kalangan
intelektual politisi, tetapi perwira Angkatan Darat yang di dalamnya
dipenuhi oleh para bekas pejuang militer masa perang kemerdekaan. Perekrutan
ruling elite dari tubuh militer jadi berkesinambungan dan terinstitusikan
karena penguasa Orde Baru mengandalkan institusi militer untuk menyangga
kekuasaannya. Akibatnya, elite militer awalnya memang mantan pejuang
kemerdekaan, tetapi kemudian diteruskan oleh perwira hasil didikan Akademi
Militer. Mereka jadi ruling elite Indonesia hingga akhir 1990-an.
Elite aktivis
Di dekade 1960-an terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Untuk pertama kalinya,
anak muda dari setiap lapis bangsa bisa masuk perguruan tinggi. Bersamaan
dengan itu dunia gerakan mahasiswa mulai tumbuh, menguat, dan mengait dengan
dunia politik. Organisasi mahasiswa menjadi wahana perekrutan pemimpin muda.
Kemudian menjamur pula organisasi kepemudaan menjadi saluran mantan aktivis
mahasiswa untuk meneruskan aktivismenya.
Para mantan aktivis ini kemudian aktif melalui partai politik, dunia
akademis, LSM, ornop, pers, ormas keagamaan di samping sebagian kecil masuk
ke dunia bisnis. Keterampilan organisasional dan politik membuat mereka
menjadi kelompok yang paling siap menyambut peluang demokratisasi dan
liberalisasi politik. Apalagi pseudo-democracy yang ditopang kekuatan
militer memang tidak pernah langgeng.
Benar saja, sesudah tumbangnya Presiden Soeharto, para aktivis itu menjadi
motor partai- partai politik dan aktor-aktor politik dominan di Indonesia.
Saat ini para mantan aktivislah yang mendominasi kursi-kursi lembaga
perwakilan dan lembaga eksekutif dari tingkat nasional sampai dengan tingkat
kabupaten. Kalangan aktivis dan organisatoris ini menjadi ruling elite baru
menggantikan kalangan militer.
Dari sirkulasi tiga ruling elite terlihat bahwa proses pembentukan ruling
elite itu sangat ditentukan oleh tren utama bangsa pada dua-tiga dekade
sebelumnya. Karena itu, bagi kalangan muda yang berambisi untuk memasuki
wilayah ruling elite, diperlukan ketajaman membaca tren utama bangsa.
Anak muda yang di dekade 1980-an berminat memasuki lingkar kekuasaan dan
memilih jalur militer hanya karena saat itu militer sedang berkuasa,
sebenarnya ia sudah salah jalur karena dalam dua dekade berikutnya
militer—meski masih kuat—sudah bukan lagi ruling elite di Indonesia.
Kekuatan pasar
Pertanyaannya kemudian siapakah yang akan menjadi ruling elite baru? Untuk
menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyaksikan tren utama bangsa saat ini.
Kegiatan paling dominan dan mewarnai kehidupan bangsa saat ini adalah
kegiatan ekonomi. Pasar menjadi arena baru dan telah mempenetrasi hampir
semua aspek kehidupan. Terlepas dari perdebatan tentang bentuk/jenis pasar
atau tentang peran negara dalam pasar; faktanya pasar berkekuatan dominan.
Dari mulai ritual budaya dan agama sampai dengan layanan kesehatan dan
pendidikan diwarnai oleh aspek dan karakter pasar (bisnis).
Tren ini akan berlanjut terus dan perekrutan terhadap generasi muda untuk
memasuki pasar (dunia bisnis) berlangsung intensif. Meskipun mungkin tidak
diiringi kesadaran (atau bahkan tanpa ambisi) bahwa mereka berpotensi
menjadi pewaris ruling elite Indonesia di masa depan. Akan tetapi, bersamaan
dengan konsolidasi demokrasi yang berbasis pasar, para pelaku pasar akan
makin berkepentingan dengan dunia politik dan kebijakan (policy making).
Melihat tren ini, dalam satu-dua dekade ke depan, kalangan enterprener dan
profesional bisnis akan makin banyak memasuki wilayah politik dan menjadi
ruling elite baru di Indonesia. Kalangan enterprener dan profesional bisnis
ini memiliki pengalaman kepemimpinan yang bisa dibuktikan secara konkret,
sebagaimana pemimpin militer.
Gagal-berhasilnya atau semu- tidaknya (hasil KKN atau tidak) seorang
enterprener dan profesional bisnis bisa dinilai dan diukur secara obyektif.
Mereka umumnya berpendidikan tinggi dan sebagian memang berlatar belakang
aktivis mahasiswa. Mereka bukanlah enterprener yang dibesarkan oleh (atau di
zaman) Orde Baru, tetapi umumnya anak-anak muda yang menggeluti bisnis
sesudah tumbangnya Orde Baru.
Saat ini, generasi muda di dunia bisnis memang seakan luput dari perhatian
publik walau mereka punya karya konkret, senyatanya ikut menggerakkan roda
perekonomian Indonesia dan memiliki network of power. Namun, sebagaimana
ruling elite masa sebelumnya, begitu muncul momentum yang tepat, mereka akan
masuk dan turut mendominasi kekuasaan politik di Indonesia.
Anies Baswedan Direktur Riset The Indonesian Institute dan Advisor pada
Partnership for Governance Reform
Ass.saya trtarik salah satu tulisan ,,…saya copy,..makasih
Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!
Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
http://www.pena-98.com
http://www.adiannapitupulu.blogspot.com