Rekan2x,
Ada artikel bagus dari rekan keio.
Silakan menyimak:
————————————-
Assalamualaikum Wr.Wb.
dari milis tetangga
Mungkin bakal jadi tugas kita ke depan
regards
salim
Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot
——————————
—————————-
All children are born geniuses ; 9.999 out of every
10.000 are swiftly, inadvertaently degeniusized by
grownups.
Buckminster Fuller
Minggu lalu saya memberikan pelatihan motivasi dan
pengembangan diri di suatu perusahaan blue chip. Saat
sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya,
“Pak, apa yang menjadi kunci sukses untuk bisa
berhasil dalam penjualan/selling?”
“Mengapa bapak mengajukan pertanyaan ini?” saya balik
bertanya.
“Saya telah mengikuti sangat banyak pelatihan. Namun,
saya merasakan ada sesuatu, di dalam diri saya, yang
terus menghambat diri saya. Saya tidak bisa bekerja
secara maksimal,” jawab peserta ini.
Saya lalu menjelaskan mengenai Konsep Diri. Bagaimana
pengaruh Konsep Diri terhadap kinerja kita. Bila
Konsep Diri kita positip maka akan sangat mudah bagi
kita untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, bila
Konsep Diri buruk maka kita akan sangat sulit
berhasil, di bidang apa saja yang kita lakukan.
Prestasi hidup kita berbanding lurus dengan Konsep
Diri kita. Konsep Diri sebenarnya adalah operating
system yang menjalankan komputer mental kita.
“Kalau memang Konsep Diri itu sedemikian penting, lalu
mengapa kebanyakan orang Konsep Dirinya kurang baik?
Hal ini tercermin dari prestasi hidup mereka yang
biasa-biasa. Bisa Bapak jelaskan asal muasal
terbentuknya Konsep Diri?” kejarnya lagi.
Nah, pertanyaan saya pada anda, pembaca, “Sejak
kapankah Konsep Diri ini mulai terbentuk? Faktor apa
saja yang mempengaruhi pembentukan Konsep Diri?”
Apa yang saya uraikan di bawah ini adalah jawaban saya
kepada peserta seminar itu.
Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita
dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita,
sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode
pertama adalah pada usia 0 – 6 tahun. Periode ini
sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0 – 3 thn dan 3 – 6
thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam
hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan
digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi
dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang
telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan
digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri
lebih lanjut.
Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD.
Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa
kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah
diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun
di SD ini sangat penting?
Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan di sekolah. Di Indonesia, anak SD kelas 1
sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata
pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita “harus” bisa
mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya
maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok,
telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah
“keren” lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata
yang kurang santun).
Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang
menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Spanyol.
Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa.
Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat
anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu
Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam
bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan
Menghitung.
Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan
alasan berikut. Pertama, bahasa adalah kunci untuk
memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan
bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari
bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa ? Karena
semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa
sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat
penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya teringat saat dua tahun lalu saya dan istri ke
Singapore untuk mencari buku Sains kelas 1 SD. Kami
berencana menggunakan buku Sains ini di sekolah kami,
Anugerah Pekerti. Oleh staff di toko buku itu kami
diberi tahu bahwa di Singapore, selama 2 tahun pertama
anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi,
yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu
(misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi
lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD.
Saya mendapat penjelasan bahwa hal ini disengaja agar
saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas
3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu
kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik.
Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak
kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka
masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut
untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi,
pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.
Anda mungkin bertanya, ”Mengapa kemampuan bahasa dan
matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatip
terhadap Konsep Diri seorang anak?”
Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin
menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan di
propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan SDQ
Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245
murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa
bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar
terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan
matematika.
Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:
1. Prestasi akademik menentukan konsep diri
Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun
kegagalan, lebih mempengaruhi konsep diri anak,
daripada sebaliknya.
2. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan
akademik
3. Konsep diri dan prestasi akademik saling
mempengaruhi dan saling menentukan
4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi
konsep diri dan prestasi akademik
Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di
sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan
begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat
itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus.
Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang
maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat.
Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua
mulai memberi label ”bodoh” pada anak ini. Yang
terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau
lebih tepatnya ”pembodohan” anak karena Konsep Diri
anak buruk.
Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga
uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat
tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar
anak, dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila
saya memberikan seminar pendidikan, saya selalu
bertanya pada orangtua maupun guru, ”Apa mata
pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak
didik?” Jawabannya selalu sama, ”Matematika”. Mengapa
anak sampai takut atau benci matematika?
Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya
bersifat abstrak. Apa maksudnya? Jika kita mengacu
pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan
Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada
usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit.
Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat
dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika.
Angka ”1”, ”2”, ”3”, dan seterusnya, ini adalah simbol
dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami
konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar
adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain
itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar
dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan
strategi yang berbeda.
Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang
bangga karena anaknya, yang masih SD kelas 1 atau 2,
dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3
digit, karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang
sering mereka abaikan adalah mereka tidak tahu apakah
anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Saya
pernah bertanya pada seorang ibu yang sedemikian
bangga dengan anaknya yang bisa menghitung cepat, ”Bu,
3 x 1 itu artinya apa?”
”Lha, 3 x 1 sama dengan 3,” jawabnya cepat.
”Benar. Saya tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 1
x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini
berbeda. 3 x 1 itu apakah 1-nya 3 kali (1+1+1) atau
3-nya satu kali (3),” tanya saya lagi.
Setelah berpikir sejenak dan mungkin agak kaget karena
mendapat pertanyaan yang sangat ”remeh” ini akhirnya
ia menjawab, ”Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu kali.”
”Ibu yakin dengan jawaban ini,” tanya saya lagi.
”Yakin Pak,” jawabnya.
Saya tahu kalau ia tidak yakin dengan membaca bahasa
tubuhnya.
”Bu, kalau di resep dokter tertulis 3×1, ini apakah
ibu akan memberi anak ibu 3 kapsul sekali minum atau
satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di
siang hari, dan satu di malam hari?” tanya saya lagi.
Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan
ia tersenyum kecut sambil berkata, ”Ya sudah tentu
satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul
sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak
tahu atau pura-pura nggak ngerti?” jawabnya sambil
cepat berlalu.
Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal
terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya.
Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak
kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi
akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh
terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil
penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan
terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak
bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.
Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah
lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi
soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak kita.
Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang
kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru
mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang
dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang
intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka
langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar
yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program
negatip, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.
Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk?
Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua,
anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani
mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan.
Dan yang kelima, anak tidak suka belajar dan benci
sekolah.
Ada satu buku bagus yang ditulis kawan karib saya,
Ariesandi Setyono, yang berjudul ”Mathemagics – Cara
Jenius Belajar Matematika”, yang perlu anda baca. Buku
ini menjelaskan secara detil proses pembelajaran
matematika yang benar. Aries, dengan cara yang sangat
luar biasa , mampu membuat anak didiknya, dengan hati
gembira, mengerjakan soal latihan matematika sebanyak
26 (dua puluh enam) halaman non stop. Baru-baru ini
Aries kembali mampu membuat anak didiknya, murid SD
kelas 1 dan 2, mengerjakan soal-soal latihan
matematika selama 120 (seratus dua puluh) menit non
stop. Saat diminta berhenti, muridnya malah ngomel dan
minta terus. Murid mengerjakan soal dengan hati riang,
sama sekali tanpa ada tekanan atau stress. Untuk soal
ujian akhir semester, Aries memberikan 200 (dua ratus)
soal yang harus dikerjakan muridnya, bukan pilihan
ganda. Semua anak mampu mengerjakan hanya dalam waktu
rata-rata 45 menit dengan nilai rata-rata kelas 85.
Konsep Diri yang positip sangat penting bagi seorang
anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh
(Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa
membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.
Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius
namun proses ”pendidikan” yang salah telah membuat
anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara
optimal. Saya menamakan kondisi ini sebagai ”idiot”.
Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya.
Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini kita
merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara
optimal.
* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator
and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan
trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di
dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller
Born to be a Genius, Genius Learning Strategy, Manage
Your Mind for Success, Apakah IQ Anak Bisa
Ditingkatkan , dan Hypnosis: The Art of Subconscious
Communication. Adi dapat dihubungi melalui email
adi@adiwgunawan.com