Rekan-Rekan yth.,
Saya bukan sarjana politik, engineering pertanian dsb … tapi agak prihatin dengan perkembangan kasus kedele.
Menurut saya, kesalahan terbesar adalah pada kebijakan impor kedele yang dibuat oleh IMF pada tahun 1998, sehingga menyebabkan petani-petani kedele lokal tersingkir dari tanah air kita sendiri.
Terdapat 4 importir besar yang memainkan harga: yaitu Cargill Indonesia, Teluk Intan, Gunung Sewu, dan Liong Seng.
Sejak Indonesia sudah menjadi net importir dalam masalah kedele, maka keempat kelompok inilah yang bermain-main dengan harga kedele; sehingga produksi petani lokal menjadi sia-sia belaka mengingat tak adanya proteksi.
Berikut berita terkait:
Edisi. 47/XXXVI/21 – 27 Januari 2008
Ekonomi dan Bisnis
Ada Kartel di Kedelai? Harga kedelai naik lebih dari 100 persen. Importir besar
diduga turut bermain di balik kelangkaan kedelai ini.
Sepanjang Desember menjadi hari-hari yang mencekam bagi Handoko. Jantung
produsen kecil tahu di Kalideres, Jakarta Barat, ini berdetak kencang setiap
kali ia datang ke pedagang kedelai. Hampir setiap hari, harga kedelai makin
mahal, dan terakhir sempat menyentuh Rp 8.000 per kilogram. Selama 2007,
harganya telah naik lebih dari 100 persen.
Handoko tentu saja gerah. Untungnya, pengurus Primer Koperasi Produsen Tahu
Tempe Indonesia (Primkopti) itu tak sendiri. Ribuan rekan sesama profesi,
pengusaha tempe dan tahu, merasakan kegetiran serupa. Serentak, mereka lantas
bergerak. Para pengurus cabang saling kontak. Pertemuan beberapa kali digelar.
Agenda aksi disusun.
Hasilnya, Senin pekan lalu, mereka mengguncang Istana Negara, Jakarta. Lima
ribuan produsen berunjuk rasa. Mereka mogok berproduksi. Tahu tempe, makanan
yang digandrungi jutaan warga negeri ini, tiba-tiba menghilang. Luar biasa,
untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, tahu tempe lenyap dari Ibu Kota
dan sekitarnya.
Tak pelak, upaya mereka rupanya jitu membetot perhatian. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono turun gunung. Esoknya, rapat kabinet terbatas mendadak sontak digelar
di Departemen Pertanian, Jakarta. Hasilnya, sejumlah solusi jangka pendek
ditetapkan: bea masuk diturunkan dari 10 persen menjadi nol persen, negara
tempat impor kedelai diperluas, dan importir diperbanyak, termasuk mengerahkan
Bulog.
Gonjang-ganjing kelangkaan kedelai sesungguhnya sudah lama diprediksi. Bahkan
empat tahun lalu, Jim Rogers, pialang legendaris di bursa Wall Street, New York,
sudah meramalkannya. Dalam bukunya berjudul Hot Commodities, pendiri Quantum
Fund itu meyakini pasar komoditas akan memanas. Barang komoditas bakal diburu,
tak terkecuali kedelai.
Ramalan itu tak meleset. Sejak pertengahan tahun lalu, harga kedelai di pasar
internasional merangkak naik. Di bursa komoditas Chicago, Amerika Serikat, harga
kedelai mencapai rekor tertinggi dalam tiga dekade pada 11 Januari lalu. Saat
itu, harga kedelai sempat mencapai US$ 13,1 per gantang atau US$ 481,3 per ton.
Tahun lalu, bursa komoditas kedelai juga mengantongi gain 78 persen.
Tentu saja ada alasan di balik kelangkaan kedelai. Merosotnya pasokan kedelai
0,6 persen menjadi 220 juta ton pada tahun lalu dituding sebagai biang lonjakan
harga. Apalagi tahun ini pasokan akan anjlok lagi 6,5 persen. Penyebabnya,
petani di Amerika berbondong-bondong meninggalkan kedelai dan beralih ke jagung
karena menganggapnya lebih menguntungkan. Ini menyusul kebijakan AS akan
menggalakkan produksi etanol dari jagung.
Sebaliknya, permintaan kedelai terus meningkat karena makin jadi rebutan. Tidak
hanya untuk pangan manusia, tapi juga buat pakan ternak dan sumber energi
seperti bahan baku biodiesel. Tengok saja Uni Eropa yang getol menggeber
penggunaan biodiesel hingga 5,75 persen pada 2010. Di Cina, makin makmurnya
penduduk lebih menyukai minyak goreng kedelai. Konsumsi daging di sana juga
melonjak sehingga kebutuhan bahan baku pakan ternak pun meningkat.
Nah, gonjang-ganjing kedelai itu sampai juga ke Tanah Air. Indonesia, yang
menggantungkan 60 persen permintaannya pada kedelai impor, pun belingsatan.
Produsen dan pedagang tahu tempe, pejabat pemerintah, serta masyarakat tiba-tiba
dikejutkan oleh harga kedelai yang naik seolah tanpa kendali. ”Pemerintah tak
punya kemampuan mengendalikan harganya,” ujar ekonom Didik J. Rachbini.
Ketidakberdayaan pemerintah menjaga harga kedelai sesungguhnya tidak lepas dari
sejarah. Dulu, pada 1990-an, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen
Pertanian Sutarto, Indonesia bisa memproduksi kedelai hingga 1,2-1,8 juta ton.
Bulog, yang berperan mengendalikan harga pangan, hanya sedikit mengimpor. ”Saat
itu, petani untung menanam kedelai.”
Namun situasi berubah setelah krisis ekonomi dan Dana Moneter Internasional
(IMF) datang ke Indonesia pada 1998. Ketika itu, pemerintah menetapkan bea masuk
impor kedelai nol persen. Kedelai impor yang murah membanjiri pasar Indonesia.
Setiap tahun, lebih dari 1,2 juta ton diimpor dari total kebutuhan 2 juta ton
per tahun.
Sedangkan kedelai lokal makin jauh terpinggirkan. Mereka kalah bersaing lantaran
harganya lebih mahal ketimbang barang impor. Tak pelak, produksi kedelai
domestik terus merosot sejak 1998. Sepuluh tahun silam, petani masih bisa panen
1,3 juta ton. Tapi, tahun lalu, produksinya tinggal 750 ribu ton. ”Ini dampak
dari liberalisasi produk pertanian,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia Rachmat Pambudy.
Sejak itu, Indonesia bergantung pada kedelai impor. Lebih dari separuhnya malah
diimpor dari Amerika Serikat, produsen kedelai terbesar dunia. Dominasi AS ini
tak lepas dari sokongan mereka kepada para importir di Indonesia. Selain harga
murah, importir mendapatkan kredit ekspor GSM-102 yang memberikan keleluasaan
pembayaran hingga dua-tiga tahun.
Selama bertahun-tahun, empat importir besar kedelai menjadi pemain penentu di
Indonesia. Mereka adalah Cargill Indonesia, Teluk Intan, Gunung Sewu, dan Liong
Seng. Cargill sudah jelas produsen top produk pertanian asal Amerika Serikat.
Sedangkan Gunung Sewu kepunyaan keluarga Angkosubroto, pemilik Chase Plaza,
Jakarta.
Persoalannya, dominasi importir itu menimbulkan spekulasi bahwa mereka diduga
turut berperan di balik melejitnya harga kedelai. Bahkan sejumlah kalangan
mensinyalir ada kartel atau penentuan harga secara bersama-sama oleh pemasok.
Indikasinya, menurut Didik, saat harga naik, pemerintah tak bisa mengendalikan.
Sejumlah pengusaha tahu tempe tak kalah curiga. Mereka malah membeberkan
sejumlah fakta. Dengar saja pengakuan Handoko. Ia heran dengan kenaikan harga
setiap hari di Indonesia, meski di luar negeri berfluktuasi. Bahkan, ketika ia
mengecek ke rekan-rekan sesama pengusaha tahu tempe di daerah lain, harganya
juga sama.
Anehnya lagi, pedagang tetap menaikkan harga meski stok di gudang-gudang mereka
cukup melimpah. Di Banyuwangi malah ada penggerebekan gudang kedelai oleh
polisi. Mestinya, Handoko beralasan, jika stok cukup banyak, harga kedelai tak
perlu naik sedemikian besar. Apalagi Departemen Pertanian menyebutkan importir
masih menyimpan 250-300 ribu ton. Itu cukup untuk dua bulan.
Yang lebih mengejutkan adalah kejadian menjelang aksi unjuk rasa ribuan
pengusaha tahu tempe pada 14 Januari. Pada 5-14 Januari, harga kedelai mendadak
stabil. Sama sekali tak ada kenaikan, meski harga di luar negeri bergejolak.
”Bukankah ini seolah ada yang mengendalikan,” kata aktivis Kopti tersebut.
Pemerintah kabarnya sedang menyelidiki dugaan adanya permainan harga oleh para
importir besar. Ketua Komisi Perdagangan DPR Didik Rachbini malah mendesak
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ikut terjun mengusut sinyalemen ini.
”Kami sedang mengumpulkan informasi,” kata Ketua KPPU M. Iqbal.
Namun, dugaan itu dibantah oleh importir besar. Juru bicara Cargill Indonesia,
Susi Hutapea, meyakinkan bahwa institusinya bukan menjadi penentu harga kedelai
di pasar. ”Tudingan itu tidak benar,” katanya akhir pekan lalu.
Belum jelas memang siapa yang benar. Yang pasti, harga kedelai kini memasuki
keseimbangan baru. Produsen tahu tempe sudah berproduksi lagi meski harus
mendongkrak harga atau menyusutkan ukuran. Konsumen sepertinya tak lagi mengeluh
setelah tahu tempe mudah didapat. Giliran petani yang perlu menanam kedelai
kembali karena harganya sudah tinggi. ”Kelak, jika harga impor turun lagi, tugas
pemerintah menaikkan lagi bea masuk,” kata Didik.
Heri Susanto, Bloomberg