(Surat wasiat ini dibaca anak-anakku 50-70 tahun kemudian … semoga tak terjadi … )
Anak-anakku yang tercinta …
Ketika engkau baca wasiat ini, mungkin kalian sudah menemui bangsa ini sudah hancur … mohon maaf sekali jika Ayahmu ini tak mampu berbuat apa-apa. Kata orang, Ayahmu ini cuma pandai bicara; betul sekali, karena Ayahmu ini tak pandai dalam berbohong dan mencuri. Sejak mengenyam pendidikan dasar, Ayahmu sudah mulai tersingkir dari pergaulan hanya disebabkan tidak mau mencontek. Dulu nenek kalian pernah dipanggil ke sekolah karena Ayahmu tak mau mencontek ketika masih di SMA. Ketika lulus dari kuliah, Ayahmu terbuang beberapa kali dari pergaulan hanya disebabkan tidak mau berbohong.
Anak-Anakku tercinta …
Mohon maaf sekali, jika kini kalian menemui negeri ini telah hancur. Dulu sekali, ketika negeri ini masih ada, para cendikiawan, ilmuwan dsb tidak bisa bekerja sama; mereka saling menghancurkan.
Mereka tidak senang berkarya, melainkan hanya senang menghancurkan sesama teman. Tidak lupa, mereka senang menjadi penjilat kepada kekuasaan, demi sesuap nasi dan harga diri. Para politisi serakah akan kekuasaan sehingga lupa fungsinya sebagai wakil rakyat. Orang-orang kaya senang menyombongkan dirinya, sehingga lupa berzakat. Pelaku media senang memutar balikkan fakta, menyebar fitnah kesana-sini (salah satunya, yang menyebabkan perceraian dimana-mana), menyajikan berita hanya dengan menimbang apakah berita itu laku di pasar atau tidak; persetan dengan berita itu benar atau hanya fitnah.
Rakyat negeri yang hancur ini adalah kumpulan masyarakat yang tak pernah kunjung belajar dari kesalahan masa lalu. GOLKAR dan Neo GOLKAR (PDIP dkk) selalu saja terpilih, padahal sudah puluhan tahun menipu mereka.
Kami selalu saja tak berani untuk merubah diri menjadi rakyat yang lebih baik; kami tak percaya diri jika kami mampu belajar sains, belajar teknologi untuk setara dengan bangsa-bangsa lain. Daripada kami belajar sains dan teknologi capek-capek, lebih baik menjadi calo dan makelar kompeni-kompeni luar negeri. Persetan pula apakah para kompeni luar negeri itu menipu atau tidak; yang penting kami dapet komisi dari jasa calo itu.
Kami, para Rakyat pendahulu kalian, tak percaya diri pula dengan penampilan sendiri; kalau perlu rambut kami dicat kuning, merah dsb agar kami terkesan bule. Kami menganggap orang bule lebih baik daripada orang pribumi; makanya kalo perlu, kami kawin dengan orang bule.
(Bersambung)
Tinggalkan Balasan