Urusan jilbab masuk ke politik adalah keniscayaan akhir2x ini, tidak dapat disalahkan PKS semata wayang. Sejak JK-Wiranto bergabung, entah kebetulan atau memang ada konsfirasi, keduanya memiliki jualan yang sangat jitu : menjual simbol agama, yaitu jilbab, kepada masyarakat Indonesia.
Kalau di satu sisi PKS diejek-ejek oleh masyarakat nasional-sekuler sebagai partai yang inkonsisten dan hanya mencari jabatan, maka di sisi lain, PKS diejek-ejek oleh masyarakat nasionalis-religius sudah tidak menjadi partai islam ketika mendukung SBY-Boediyono yang masing2x memiliki istri tanpa jilbab. Golongan ini juga tidak terlalu peduli dengan track record JK-Win: yang penting berjilbab! Oleh karenanya, PKS seperti dikutuk oleh mereka agar ikutan PBB, agar kelak keluar dari gelanggang politik pada 2014, karena sudah tidak lagi menjadi representasi umat.
Sehingga, apa yang dikatakan jubir PKS akhir2x ini, bukanlah tanpa alasan: jika istri Pak SBY dan Boediyono menggunakan jilbab, memang akan menarik simpati masyarakat nasionalis-religius, yang kini terkesima oleh JK-Win.
Kalau saya melihat hikmahnya saja: bisa jadi ini saatnya keluarga SBY-Boediyono menjadi keluarga yang lebih relijius. SBY-Boediyono dihari-hari ini akan dituntut bicara banyak tentang ekonomi kerakyatan dan banyak2x menyitir ayat2x Al-Qur`an untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah Neoliberalis dan bagian dari umat. Mungkin Ibu SBY dan Ibu Boediyono akan terbawa-bawa, ketika dibanding2xkan dengan Ibu JK dan Ibu Winarto.
Hendaknya berpaham ekonomi kerakyatan dan menjadi religius tidak hanya ketika kampanye saja … tetapi sekalian diteruskan dalam kehidupan selanjutnya. Belum telat rasanya untuk menjadi full ekonomi kerakyatan dan full agamis, dan tidak ada salahnya mengawali ketika kampanye pilpres kali ini.
Kalau orang seperti Mas Tsani mengatakan itu adalah harom mengingat itu adalah riya bahkan syirik, menurut saya itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Salah satu hikmah dari peristiwa pilpres kali ini adalah masyarakat kita harus sering-sering berkomunikasi dan memahami satu sama lain. Baik kalangan ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoliberal harus banyak2x diskusi, saling memahami dan saling menerima. Begitu juga antara masyarakat nasionalis-religius dan nasionalis-sekuler.
Untung saja kita sekarang ini punya PKS yang menjadi perekat (baca: penengah dan wasit. Edy Marwanta, 2009) kedua kalangan tersebut, yaitu antara supporter ekonomi kerakyatan dan liberal, begitu juga antara religius dan nasionalis.
Dan memang untuk menjadi wasit atau penengah itu tidak mudah … lihat aja wasit di sepakbola … selalu menjadi bulan2xan penonton dan pemain … kalau di Indonesia malah wasit bisa2x jadi korban bogem dan lemparan botol …
Salam,
Agung
setahu saya isteri jk win udah dari dulu berjilbabx..jd nggak perlu memakai kata MENJUAL SIMBOL AGAMA itulah adax mereka…dunia emang udah terbalik kebenaran danggap suatu yang tabu bahkan salah..berjilbab dikatakan ga’nasionalislah agamislah n lah lah yang lainnya..
Wah terus terang saja aq jd bingung ada yg agamis tp blm terbukti ada nasionalis tp kurang agamis ada yg agamis nasionalis tp istrinya msh dipertanyakan mudah2an isu agama tidak menjadi jualan utama lha wong indonesia kan multi kultur,etnis&agama tp sy mendukung klo yg memimpin negeri ini dr muslim karena mayoritas kt kan muslim yg pnting agama lain tetap kita hargai
PKS = PARTAI KELUAR SUNNAH
Kenapa? Sudah jelas, jilbab wajib bagi istri kaum mukmin. Allah dan Rasul memerintahkannya. Ada komentar tidak perlu membawa isu agama dalam politik.Memisahkan politik dan agama saja juga mengeluarkan “iman dan islam” dari pribadi warga negara yang beragama islam. Apakah orang islam yang mukmin harus berada di “negara islam” untuk menjalankan syariat agamanya? Bukankah kebebasan menjalankan agama di jamin oleh uud dan pancasila? tapi kenapa ketika salah satu syariat agama hendak dijalankan dan dijadikan landasan untuk memilih “kualitas” seorang pemimpin lantas dipenggal bahwa yang dipilih pemimpin bukan istri? menurut saya, bila memimpin istri saja tidak bisa gimana mau memimpin negara? mencopot jilbab di depan umum bagi oran mukmin adalah kemungkaran. Bila seorang pemimpin mencegah kemungkaran dari istrinya tidak bisa bagaimana akan mencegah kemungkaran di suatu negara? Bukankah wanita adalah tiang negara, dimana bila baik wanita di suatu negara maka baiklah negara, bila rusak wanita di suatu negara maka rusaklah negara? Itulah nasihat dari Rasulullah. Islam tidak memaksa orang selain islam memakai jilbab, tapi jangan paksa orang mukmin memilih pemimpin yang bisa membina istrinya berjilbab dan berperilaku sesuai qur’an sunnah.