Pabrik Pesawat di Arcamanik
Jumat, 1 Februari 2008 | 08:37 WIB
Pepih Nugraha
Apa yang Anda bayangkan jika sebuah industri rumahan (home industry)
tidak lagi sekadar membuat suku cadang sepeda motor atau mobil, tetapi
juga membuat pesawat terbang? Bukan hanya mengerjakan satu komponen,
tetapi seluruh pesawat terbang secara utuh!
Ini bukan fantasi, tetapi nyata. Pabrik pesawat itu ada di Indonesia,
tepatnya di Jalan Aeromodelling 4, Arcamanik, Bandung Timur. Ia berada
di halaman sebuah rumah penduduk. Mungkin Gubernur Jawa Barat atau
Bupati Bandung tidak pernah tahu keberadaan pabrik pesawat rumahan ini.
“Kalau mereka tahu, tentu ada sedikit perhatian,” kata Jaka Prahasta,
Kepala Produksi PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI), saat
kami temui di pabrik pesawat, pertengahan Desember 2007.
Memang bukan pesawat terbang biasa yang bisa mengangkut penumpang,
tetapi industri rumahan pembuat pesawat tanpa pemandu yang disebut
Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Dibilang pesawat mini juga tidak, sebab
UAV ini punya bentangan sayap 3 meter, panjang badan 2,6 meter, dan
berat 20 kilogram, termasuk kamera di dalamnya. Terbuat dari bahan
fiberglass yang dicetak di pabrik itu, UAV dapat terbang pada ketinggian
1.000 meter selama 2 sampai 3 jam dengan kecepatan maksimal 150
kilometer per jam.
Berbeda dengan pesawat remote control manual, UAV yang bertenaga listrik
12 volt dapat terbang mandiri berkat navigasi GPS yang sudah ditanam di
tubuhnya. Pengendali jarak jauh dua tongkat dengan enam saluran hanya
digunakan saat pesawat take off dan landing. Selebihnya, ia terbang
mandiri mencari titik-titik koordinat yang sudah ditentukan sebelum ia
terbang dengan menggunakan peta gratisan Google Earth.
Aplikasi UAV tidak berhenti pada pemantauan kebakaran hutan, pencarian
korban kecelakaan, pengamatan lalu lintas maritim, pencarian kandungan
mineral bawah tanah, atau pengawasan titik semburan lumpur Lapindo,
misalnya, tetapi bisa dikembangkan untuk keperluan pesawat mata-mata.
Di rumah penduduk yang sebagian halamannya dijadikan pabrik, diproduksi
pula belasan tipe pesawat terbang aeromodelling untuk olahraga dan hobi,
mulai pesawat helikopter sampai pesawat tempur, yang dikerjakan oleh 12
teknisi lulusan STM. Harga per pesawat Rp 15 juta hingga Rp 25 juta.
Namun, bisnis inti yang serius digarap adalah UAV.
Saat Kompas berkunjung ke industri rumahan pesawat terbang itu, satu UAV
pesanan sebuah lembaga riset Malaysia sudah selesai dibuat. Tanggal 24
Desember 2007, UAV yang kemudian diberi nama Kujang ini berhasil
menjalani tes terbang di Lanud Sulaeman, Bandung. Kujang-yang merupakan
senjata khas Sunda-mengudara selama 30 menit, berhasil menelusuri rute
yang ditentukan tanpa kendali radio, sampai mendarat selamat.
Kembangkan logika
Siapa otak di balik lahirnya UAV yang berteknologi tinggi made in
Arcamanik ini? Dialah Endri Rachman, pelarian PT Industri Pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) yang sejak delapan tahun lalu hijrah ke
Malaysia untuk mengembangkan keahliannya sebagai pensyarah alias dosen.
Kompas masih mencatat ucapan pria lulusan S-2 Technical University of
Brunswick, Jerman, spesialis model autopilot ini saat ditemui satu tahun
lalu. “Saya ingin memproduksi UAV dengan logika autopilot di Indonesia,
tepatnya di Bandung,” katanya (Kompas, 29/12/2006). Rupanya ia
membuktikan ucapannya itu!
Tidak nasionalis? “Terserah orang mau bilang apa. Saya ini warga negara
Indonesia. Kalau saya tidak nasionalis, saya pasti tidak akan membangun
pabrik pesawat ini di Arcamanik, tetapi di Malaysia. Adanya pabrik
pesawat ini justru agar Malaysia tidak mengklaim UAV yang saya
kembangkan sebagai miliknya,” kata Endri saat ditemui di kantor
pengembangan peranti UAV di sebuah ruko di Jalan Cihampelas, Bandung.
Untuk mewujudkan niatnya, Endri bersama rekan-rekan alumni IPTN
mendirikan PT GTSI dengan modal awal yang menurut dia tidak sampai Rp
300 juta. Di lantai dua ruko bekerja teknisi pesawat terbang yang
rata-rata jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan IPTN. Ada Asep
Permana, jebolan Jerman dan IPTN di pengembangan bisnis. Ada
Widyawardana, jebolan Teknik Elektro ITB di pengembangan sistem avionic
UAV. Juga ada Muhajirin, manajer drawing yang mendesain rekayasa bentuk
UAV. Endri sendiri bertindak selaku direktur utama.
Mengapa dengan modal yang tidak bisa dibilang besar Endri dan
kawan-kawan berani melakukan langkah besar dengan mendirikan pabrik UAV
di Indonesia? Jawabannya adalah “nama besar”, yakni nama besar Endri
sebagai inovator pesawat yang laku dijual di Malaysia. Orang Malaysia
yang memesan UAV pertamanya pun berani memberi panjar 70 persen dari
harga UAV.
Widyawardana mengakui, mesin masih didatangkan dari Amerika Serikat.
Namun ke depan, katanya, PT GTSI sudah siap merancang mesin untuk UAV.
Yang dikerjakan para teknisi di lantai dua ruko itu hanya rancang bangun
dan pengembangan peranti lunak dan peranti keras yang akan ditanamkan di
UAV.
“Yang kami kembangkan adalah logika. Dengan demikian, kalau bicara
software bukan hanya untuk UAV saja. Umumnya bisa diterapkan pada benda
bergerak lainnya, seperti kapal selam tanpa awak atau bahkan peluru
kendali yang tidak bisa terjangkau pandangan mata,” katanya.
Kumpulan “teknopreneur”
Asep dan kawan-kawan di PT GTSI punya cita-cita besar, yakni menghimpun
kembali para alumnus IPTN yang kini banyak berserakan di medan usaha di
luar pesawat terbang sekadar, yang disebutnya “teknopreneur”. Sudah
bukan rahasia umum, selepas IPTN goyah seiring selesainya BJ Habibie
mengabdi di pemerintahan, para teknisi andal IPTN banyak terserak
(diaspora) di beberapa tempat.
Sebagian besar lari ke luar negeri, seperti halnya Endri ke Malaysia.
Ada pula yang bertahan di dalam negeri. Asep menyebut beberapa nama,
antara lain Husin, ahli helikopter andal, yang kini menjadi anggota DPRD
Jawa Barat. Juga ada Lian Darmakusumah, mahasiswa terbaik lulusan
aeronotika Perancis, yang kini berwirausaha.
Untuk mewujudkan langkah itu, PT GTSI mengakuisisi sebuah bengkel yang
sebelumnya hanya mengerjakan pesawat aeromodelling. Pesawat kendali
untuk hobi ini tetap dipertahankan. Pilihan mengembangkan UAV tidaklah
keliru. Endri mengaku sudah menerima pesanan baru, juga dari Malaysia,
untuk mengerjakan Kujang 2.
Perusahaan ini pun siap membuka cabang di Malaysia, sekadar mendekatkan
diri kepada konsumen. Negara lain yang berpotensi sebagai pemesan adalah
negara-negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, yang sudah menyatakan
minatnya memesan UAV.
“Pesanan boleh datang dari mana pun, tetapi pabrik UAV tetap harus ada
di sini, di Arcamanik ini,” kata Endri.
http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.0
2.01.08373538&channel=2&mn=42&idx=42
Keren, euy! Industri rumahan yang go international. Saatnya pemerintah peduli.
Canggih bung, maju terus teknologi dirgantara indonesia