Dahulu kala, 20-30 tahun yang lalu, bangsa kita masih melihat bangsa asing sebagai sesuatu yang tinggi. Lulusan universitas asing dianggap/menganggap dirinya manusia setengah dewa. Perusahaan-perusahaan asing dianggap lambang kemakmuran dan kesejahteraan.
Kini bisa jadi anggapan tersebut tidak terlalu berlaku lagi.
Superioritas kemakmuran?
Kini kemakmuran tidak identik dengan perusahaan asing/ lulusan universitas asing. Terlalu banyak contoh di negeri kita, manusia yang tidak lulusan universitas asing, bahkan banyak juga yang tidak menempuh pendidikan formal, dapat lebih makmur daripada yang lulusan universitas asing dan pekerja di perusahaan asing.
Yang terkenal contohnya : Aa Gym, KH. Zainuddin MZ., Yusuf Mansyur, Arifin Ilham, … dst … anggota DPR, anggota DPRD, … dst, … pengusaha2x otodidak yang sulit disebutkan satu persatu nama2x mereka.
Saya punya seorang paman; yang “cuma” lulusan STM. Tapi, kekayaan hartanya tidak kalah dengan seorang direktur perusahaan asing. (alhamdulillah beliau juga kaya hati)
Setiap ada acara keluarga, beliau selalu berpesan:
” … Gung, yang paling penting itu adalah `ilmu hidup`; ilmu kamu di kuliah itu paling cuma 5 persen berpengaruh di hidup kamu …”
Nasihatnya yang lain, disampaikan ketika kami olahraga pagi:
” … prinsip saya adalah membantu orang lain; kalau tidak bisa dengan uang, dengan tenaga. Kalau tidak bisa tenaga, dengan doa … ”
Sulit mengatakan beliau sedang asal bunyi, mengingat beliau memang seorang yang sudah sangat berhasil dalam hal harta. (dan alhamdulillah juga kaya hati.)
Dan kita bersyukur, beberapa dekade terakhir ini manusia2x mulia seperti itu semakin banyak saja di negeri kita.
Superioritas keilmuan?
Selain masalah kemakmuran, lulusan universitas asing/ orang asing seolah juga identik dengan superioritas keilmuan. Sekali lagi, 20-30 tahun lalu, jika ada Ph.D dari universitas asing, identik dengan seseorang yang memiliki superioritas dibidang keilmuan.
Kini terlihat, hal itu sama sekali tidak menjamin.
Mari kita coba mulai dari kasus para sarjana yang dikirim ke universitas-universitas ternama dalam hal agama.
(Sebetulnya ini paradoks tersendiri : seseorang belajar agama kepada bukan ahli agama)
Ada seseorang (inisial : NM) belajar sampai Ph.D pemikiran Ibnu Taimiyyah, tapi dalam realitanya ia adalah penentang pemikiran Ibnu Taimiyyah. Begitu juga ada yang mempelajari Ikhwanul Muslimin (inisial : AR), tapi nilai2x Ikhwanul Muslimin gagal mengkristal dalam dirinya. Adapula yang belajar sejarah Indonesia untuk menjadi ahli sejarah Indonesia, tapi justru ketika pulang menjadi seseorang yang kelak mendistorsi sejarah Indonesia itu sendiri.
Justru, begitu banyak manusia2x mulia di negeri kita yang belajar Islam dan ilmu-ilmu sosial lain secara otodidak, akan tetapi menjadi ahli-ahli fiqh, politik islam, dan ahli sosial yang lebih fasih daripada mereka yang lama di luar negeri tapi pulang tidak lebih sebatas penyambung lidah para pemberi beasiswa.
Dalam hal sains juga serupa. Seorang Ph.D dalam hal fisika tidak menjamin ia memahami fisika. Ini dapat terlihat ketika begitu banyak Ph.D yang terkelabui dan bungkam seribu bahasa pada peristiwa runtuhnya 3 gedung WTC yang ditubruk oleh 2 pesawat di 11 September 2001.
Sementara para Ph.D bungkam seribu bahasa, begitu banyak mereka yang belajar fisika secara otodidak tetapi dapat memahami Hukum Fisika dibalik peristiwa 11 September 2001 tersebut.
————
Ironis memang, tidak sedikit para lulusan asing, tidak sedikit pula yang berasal dari universitas2x terbaik di dunia, yang justru tidak hanya membebani negara, tapi juga membebani keluarga. Pendidikan di luar negeri hanya mengajari yang bersangkutan untuk tinggi hati (baca:sombong) tanpa diikuti dengan harga diri yang meninggi. Semakin pintar menuntut, tapi semakin kikir untuk memberi.
Inilah ciri2x manusia yang berilmu tapi tidak berkah : bertambahnya ilmu tidak mengakibatkan kebaikan pada dirinya dan masyarakat.
Mas Tri nyindir para lulusan Berkeley Amerika ya ?, datang ke Indonesia lantas jadi pejabat tapinya tidak memberi berkah bangsanya.
Semua teori dan gagasannya serba asing,tidak cocok dg kebiasaan dan budaya asli Indonesia, atau memang mereka menjalankan “misi asing” nya ?………..
Lain dg Ahmadinejad yang juga lulusan Amerika tapi dicintai mayoritas rakyatnya, lain Iran lain pula Indonesia.